Jumat, 08 Juli 2011

  1. Historis
Studi kebahasaan di Timur Tengah (Islam) lebih cenderung membahas tentang Bahasa Arab. Sedangkan bahasa Arab merupakan rumpun bahasa Semit, sama dengan bahasa Ibrani, Aramik (Aramea), Suryani, Kaldea, dan Babilonia. Bahasa ini banyak dipelajari orang pada akhir abad pertengahan.
Sebelum abad tujuh masehi, bahasa Arab adalah "bahasa statis" dan terkungkung oleh batas-batas kesukuan. Ia tidak lain hanya merupakan bahasa orang-orang badwi yang bermukim di bagian utara semenanjung Arabia, dan sebagian tersebar di sebagian daerah Syam dan Irak, serta menjadi bahasa bagi penduduk kota-kota di daerah utara semenanjung Arabia. Namun setelah itu, Islam berkembang dan meluas ke berbagai daerah di semenanjung Arabia, bahkan hingga benua yang berbeda.
Perkembangan studi Arab dan Linguistik Arab dimulai pada abad ke-7 Masehi, sejak penyebaran agama Islam pada zaman pemerintahan Khulafaur Rasyidin yang sifatnya defensif dari manipulasi dalam menstandarisasikan bahasa. Standarisasi al-Qur’an disini bukanlah kodifikasi bahasa, tapi hanyalah pembakuan yang bersifat defensif dari manipulasi. Ruang lingkup bahasa al-Quran tidak memotong gerak bahasa arab. Sebab bahasa hanyalah pengantar dalam mendekati al-Quran, dan al-Quran pun membebaskan bahasa dari keterkungkungan.
Linguistik Arab berkembang pesat karena kedudukan bahasa Arab sebagai bahasa kitab suci agama Islam (Al Qur’an) dan berlangsung dalam terminologi bahasa Arab karena bahasa Arab Al-Qur’an tidak boleh diterjemahkan ke dalam bahasa yang lain. Menafsirkan boleh tapi menerjemahkan tidak boleh.
  1. Perjalanan Linguistik Arab
Di dunia Arab, ada aliran linguistik yang pada waktu itu dipelajari oleh ahli bahasa Bashrah yang meletakkan dasar kokoh akan kereguleran dan sistematisasi dari bahasa Arab sebagai alat tutur yang logis tentang fenomena dunia. Mereka sudah pasti mendapat pengaruh konsep analogi dari zaman Yunani. Di samping itu ada pula satu kelompok Linguistik Arab di Kufah yang memberikan perhatian kepada keanekaragaman bahasa seperti yang dijumpai, termasuk anomali.
Berbicara tentang linguistik Arab, tak bisa dipisahkan dari "nahwu" (yang sekarang masuk ke kajian sintaksis). Karena dalam ilmu tatabahasa Arab, ilmu inilah yang pertama kali mencapai kematangan dari segi epistemologis. Menurut Syauqi Dhaif, dalam sejarah linguistik Arab (nahwu), terdapat beberapa madzhab (madrasah) nahwu, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, Baghdad, Andalusia dan Mesir. Namun di sini, hanya akan disajikan tiga madzhab saja, yaitu madzhab Bashrah, Kufah, dan Andalusi, mengingat pengaruh dan kontribusi ketiga madzhab tersebut dalam bidang nahwu.
A. Madzhab Bashrah
Madzhab Basrah atau madrasah Bashrah adalah madzhab yang dirintis oleh Anbasah, salah seorang yang disebut-sebut oleh Khalil bin Ahmad al-Farahidi, sebagai murid dan sahabat (ashbahi) Abu al-Aswad yang paling cerdas. Kemudian setelah itu dilanjutkan oleh Maimun al-Aqran. Namun Abu Ubaidah mengatakan bahwa Maimun adalah pelanjut setelah Abu al-Aswad. Kemudian setelahnya, barulah Anbasah al-Fil, yang kemudian dilanjutkan oleh Abu Ishaq al-Khadhramiy.
Selanjutnya adalah Nashr bin Ashim al-Laitsiy dan Yahya bin Yamur. Nashr bin Ashim al-Litsiy adalah salah seorang ahli qiraat dan balaghah. Di antara muridnya adalah Abu Amr. Al-Zuhriy mengomentari Nashr:"Ia adalah orang yang sungguh sangat mahir dalam bahsa Arab." Bahkan ada yang mengatakan bahwa ia adalah orang yang pertama meletakan bahasa Arab. Sedang Yahya bin Yamur adalah seorang yang sangat dikenal ilmu dan kefasihan bahsanya. Ia sangat dikenal dengan keilmuannya yang bersih dan sikap amanahnya. Ia telah meriwayatkan dari Ibnu Umar, Ibnu Abbas dan yang lainnya.
Perlu diketahui bahwa kedua ulama nahwu ini, telah melakukan lompatan yang besar dalam hal penulisan bahasa Arab, setelah Abu al-Aswad al-Dualiy. Mereka berdua membuat kreasi titik huruf-huruf baik satu atau dobel (dua), untuk membedakan huruf-huruf yang mirip, seperti ba, ya, dan nun. Mereka melakukan hal tersebut atas perintah al-Hajjaj bin Khathib, pada mushhaf utsman.
Yahya bin Yamur memiliki kelebihan dalam hal karangan. Diriwayatkan ketika Abu al-Aswad, Atha putera Abu al-Aswad dan dia melakukan perluasan kajian nahwu, seperti membuat bab-babnya dan menggali kias-kiasnya. Maka ketika bab-bab dan juz-juz telah cukup mumpuni, sebagian periwayat menisbatkan pada mereka berdua, bahwa perintis pertama nahwu adalah mereka berdua.
Namun Nashr sampai sekarang masih terkenal sebagai orang yang membedakan huruf-huruf yang saling mirip dengan titik yang sudah dikenal. Dialah yang merubah susunan abjad Arab sehingga seperti sekarang ini. Lalu ia menggantikan titik-titik yang digunakan Abu al-Aswad digantikan dengan titik yang kita kenal sekarang yang dulunya hanya dengan alif (untuk bunyi fathah), wawu (untuk bunyi dhamah) dan ya (untuk bunyi kasrah). Abu al-Aswad memberi titik pada kata (kalimat), hanya untuk membedakan tiap akhir kata (baca: mengirabi). Sedang Nashr memberi titik pada kata, tujuanya adalah untuk membedakan tiap huruf bagi orang ‘Ajam (non-Arab), yang mana ketika itu masih sering terbalik antara satu huruf dengan yang lainnya yang terdapat kemiripan.
Dalam fase kedua, di antara ulama nahwu Bashrah terdapat nama Abu Amr bin al-Ala’ dan Abudullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Abu Amr adalah ulama yang terkenal dan gemilang dalam kajian Al-Quran, bahasa dan nahwu. Ia adalah salah seorang ahli qira’at sab’ah. Abu Ubaidah mengomentari dirinya:"Ia merupakan orang yang paling pintar dalam qira’at, bahasa Arab, fase-fase (sejarah) orang-orang Arab, dan syair. Ia memiliki buku banyak, hingga menumpuk sampai langit-langit rumahnya. Ia menjadi rujukan banyak orang pada masanya. Di antara muridnya adalah Isa bin Umar, Yunus bin Hubaib, dan Abu al-Khaththab al-Akhfasy."
Sedang Abdullah bin Abi Ishaq al-Hadhramiy adalah ulama nahwu yang sezaman dengan Abu Amr. Ia salah seorang ulama yang pernah menyalahkan Farazdaq dalam menggunakan bahasa dalam syiir gubahannya. Abu Amr lebih diunggulkan dalam bidang bahasa, sedang Abu Ishaq lebih diunggulkan dalam bidang nahwu. Abu ishaq merupakan orang yang paling pintar dan cerdas di Bashrah. Ia adalah orang yang mengklasifikasikan pembahasan nahwu dan membuat kias. Dikatakan bahwa ia adalah ulama yang pertama membuat mentalil nahwu.
Ulama selanjutnya adalah Isa bin Umar al-Tsaqafiy, sahabat Khalid bin Walid. Ia berguru pada Abu Amr bin al-Ala dan Abdullah bin Ishaq al-Hadhramiy. Ia dianggap sebagai salah seorang yang ahli qira’at Bashrah. Ia juga menjadi imam dalam bidang bahasa Arab dan nahwu. Tidak menutup kemungkinan bahwa dia adalah orang yang pertama menyusun kitab yang lengkap dalam kedua bidang tersebut. Kedua kitabnya cukup terkenal, walau tidak ada berita yang sampai pada kita mengenai kedua kitab tersebut. Hanya Khalil bin Ahmad saja sebagai muridnya, pernah membaca dan merawatnya.
Isa bin Umar merupakan guru dari ulama-ulama Bashrah yang terkenal seperti Khalil, Sibawaih dan Abu Zaid al-Anshari. Juga guru dari Abu Jafar al-Ruasiy yang kelak menjadi perintis madzhab Kufah, yang mana murid-muridnya adalah al-Kisaiy dan al-Farra.
Adapun Khalil bin Ahmad merupakan puncaknya dalam penggalian masalah-masalah nahwu dan mensahkan penggunaan kias dalam nahwu. Ia merupakan orang yang meletakan kaidah-kaidah arudh (wazan syiir Arab klasik). Ia mengarang sebuah kitab yang sangat terkenal yaitu kitab al-Ain yang membuat batasan-batasan bahasa Arab. Ia merupakan guru Sibawaih. Dalam kitabnya yang terkenal, Sibawaih banyak meriwayatkan darinya. Setiap Sibawaih berkata سألته atau قال tanpa disebutkan subjeknya, maka maksudnya adalah Khalil.
Abu Zaid adalah seorang yang sangat jujur dan terpercaya dalam periwayatan. Kendati ia dalam bidang nahwu lebih unggul daripada al-Ashmaiy dan Abu Ubaidah, namun ia pun banyak mengarang dalam bidang bahasa, nawadir (anekdot), dan al-gharib.
Para ulama Bashrah memiliki tradisi kunjungan ke qabilah-qabilah Arab yang tinggal di pedalam-pedalaman. Mereka mengambil bahasa Arab langsung dari penutur aslinya. Mereka beranggapan bahwa bahasa Arab yang asli hanyalah ada di sana. Karena qabilah di pedalaman belum banyak berinteraksi/berhubungan dengan dunia luar, jadi bahasanya pun masih asli terjaga. Maka jika ingin mengetahui bahasa Arab yang baik dan benar, maka datanglah ke qabilah-qabilah di pedalaman. Begitulah barang kali anggapan ulama Bashrah mengenai keaslian bahasa Arab yang akan dijadikan rujukan.
Di antara qabilah yang paling sering mereka kunjungi adalah Tamim dan Qais. Karena kedua qabilah itu belum bercampur dengan masyarakat di luar Arab (ajam). Dengan begitu bahasanya akan senantiasa terjaga. Di Bashrah terdapat pasar yang cukup terkenal, yaitu al-Mirbad. Qabilah-qabilah pedalaman Arab pun pada berdatangan mengunjunginya dengan tujuan berniaga. Pasar ini tak jauh beda seperti Ukazh dulu, yaitu selain tempat berdagang, juga tempat perlombaan syair dan saling membanggakan antar qabilah. Penduduk qabilah-qabilah badwi selalu mendatanginya dengan tujuan untuk mengais rezeki dari sana. Kondisi ini sangat memberi pengaruh yang sangat kuat terhadap kefashihan bahasa penduduk Bashrah dan keterjagaan bahasa mereka. Dengan begitu, interaksi kaum pedalaman Arab (Arab badwi) dengan ulama Bashrah tidak hanya terjadi di kampung-kampung Badwi, tetapi juga di pasar al-Mirbad.
Berbeda dengan ulama Kufah, para ulama Basrah ahli di bidang manthiq (logika). Sehingga mereka dapat membuat teori-teori/kaidah-kaidah untuk mempermudah dalam mempelajari nahwu.
B. Madzhab Kufah
Madzhab Kufah adalah madzhab nahwu yang dirintis oleh Abu Jafar al-Ruasiy. Ia menuntut ilmu di Bashrah kepada ulama-ulama Bashrah. Ia belajar kepada Abu Amr bin al-Ala dan Isa bin Umar al-Tsaqafiy. Namun ia selama di sana tidak pernah mendekati/berkenalan dengan murid-murid keduan imam tersebut pun menegurnya. Ia tinggal di Bashrah dalam keadaan tidak terkenal. Ia merupakan ulama Kufah yang pertama menyusun kitab tentang (ketata)bahasa Arab-an, yaitu kitab al-Faishal. Kitab ini pernah diperlihatkan kepada para ahli nahwu Bashrah.
Namun mereka tidak pernah meliriknya. Dan ia pun tidak pernah memperlihatkannya lagi, setelah mendengar komentar (miring) dari mereka. Ia menduga Khalil meminta kitab tersebut, lalu ia memperlihatkan kitab itu padanya. Setelah itu Khalil berkomentar: "Semua isi kitab Sibawaih, itulah yang diungkapkan oleh orang Kufah". Maksud Khalil adalah al-Ruasiy ini. Sekelompok ulama Bashrah menganggap bahwa orang Kufah yangdisebut-sebut al-Akhfash di akhir pembahasannya, yang kemudian menjadi rujukannya ialah al-Ruasiy. Dilihat dari karya-karyanya, seperti Kitab al-Tashghir, al-Afrad wa al-Jam, al-Waqf wa al-Ibtida, dan Ma’aniy al-Quran, ia dianggap sebagai salah seorang ulama Kufah yang ahli qira’at.
Sekembalinya ke Kufah, ia menemui pamannya Mu’adz bin Muslim al-Hira ( - H. – 187 H.), seorang ulama yang dijadikan rujukan dalam bidang bahasa Arab. Ia kemudian memfokuskan pada kajian sharaf serta permasalahan-permasalahannya secara khusus. Selanjutnya berdatanganlah orang-orang Kufah yang belajar padanya/mencatat pemikirannya untuk dikoreksi olehnya. Sehingga konon katanya, mereka lebih unggul dari ulama Bashrah dalam bidang itu. Dari sana, sebagian ulama menganggap al-Ruasiy sebagai peletak pertama ilmu sharaf. Karena dari tangannyalah, muncul dua muridnya yang terkenal yaitu al-Kisaiy dan al-Farra.
Namun Syauqiy Dhaif berpendapat bahwa perintis madzhab Kufah adalah al-Kisaiy dan muridnya al-Farra. Karena mereka berdualah yang telah merumuskan pondasi ilmu nahwu. Sehingga ilmu nahwu yang berkembang di Kufah berbeda dengan yang Bashrah. Lebih lanjut, tegas Syauqiy, namanya tidak pernah disebut-sebut dalam kitab-kitab ulama nahwu setelahnya yang pernah sejaman dengannya. Dan Syauqiy mengutip Abu Hatim yang pernah menyatakan:"Di Kufah ada seorang ulama nahwu yang bernama Abu Jafar al-Ruasiy. Ilmunya kurang, dan ia bukan apa-apa."
Al-Kisaiy adalah seorang ulama non-Arab (ajamiy). Ia merupakan salah seorang ahli qira’at sab’ah dan imam ahli Kufah dalam bidang bahasa Arab. Ia belajar kepada Yunus, salah seorang ulama Bashrah dan Khalil. Ia juga berkunjung ke pedalaman-pedalaman Najd, Hijaz dan Tihamah. Ia mencatat bahasa Arab dari orang badwi di sana. Ia menghabiskan 15 botol kecil tinta untuk mencatat apa yang ia tangkap, selain apa yang ia dengar. Sekembalinya ia ke Bashrah, ia mendapatkan Khalil telah meninggal. Di sana ia hanya mendapatkan Yunus. Maka terjadilah diskusi antara keduanya. Yunus akhirnya mengakui keilmuan al-Kisaiy dan menempatkannya sejajar dengan dirinya./ia menggantikan posisi dirinya.
Selanjutnya al-Kisaiy pindah ke Bagdad. Di sana ia tinggal di istana al-Rasyid sambil mengajar kedua putera mahkota, yaitu al-Amin dan al-Ma’mun. ia pula di sana mendapat kedudukan terhormat dan harta benda. Ia dipekerjakan oleh al-Rasyid untuk membantu mengajari kedua putera mahkota. Pada waktu al-Rasyid pergi ke Ray, beliau ditemani oleh al-Kisaiy dan Muhammad bin al-Hasan al-Syaibaniy. Maka ketika keduanya meninggal dunia, al-Rasyid berkata:"Aku menguburkan fiqih dan nahwu dalam satu hari."
Adapun al-Farra, ia telah belajar di Bashrah kepada Yunus bin Hubaib, lalu kepada al-Ruasiy. Dan setelah itu ia terus belajar kepada al-Kisaiy di Bagdad. Orang yang menyuruhnya berangkat ke Bagdad ialah gurunya sendiri, al-Ruasiy.
Sekarang, marilah kita dengarkan perkataan al-Farra ketika pertama kali menginjakkan kaki di Bagdad. Al-Ruasiy pernah berkata kepadaku:"Al-Kisaiy datang ke Bagdad dalam usia lebih muda darimu." Kemudian aku datang ke sana dan menemui al-Kisaiy. Aku bertanya kepadanya tentang masalah-masalah yang dibahas al-Kisaiy. Ia menjawab dengan jawaban yang berbeda sama sekali dengan apa yang aku peroleh dari al-Ruasiy. Aku melirik para ulama Kufah yang ketika itu ada bersamaku. Ia balik bertanya:"Mengapa engkau mengingkari apa yang aku katakan? Bukankah engkau ini ulama Kufah? Aku jawab:"Ya." Lalu ia melanjutkan perkataannya:"Al-Ruasiy berkata begini…begitu…Semuanya tidak benar. Tapi aku mendengar orang-orang berkata begini-begini. Sehingga ia sampailah pada bahasan-bahasanku. Aku sangat tertarik pada uraiannya dan aku pun kemudian belajar padanya.
Ada hal yang unik pada al- Farra ini, para ulama Bashrah dan Kufah ternyata sangat menjunjung tinggi bacaannya yang ia pelajari dari Hubaib al-Bashriy, yang menjadi guru Sibawaih, dengan sanjungan yang luar biasa. Ulama-ulama Kufah mengira ia banyak mengambil ilmu dari Hubaib, sedang ulama Bashrah menampik hal demikian. Di atas itu semua, ternyata al-Farra adalah orang yang sangat fanatik kepada Sibawaih dan kitabnya. Ia adalah salah seorang ulama yang telah mengarang kitab ma’ani al-Quran yang belum pernah dikarang oleh ulama lain.
Kufah masuk ke daerah Irak dan lebih memungkinkan terjadinya percampuran dengan kaum non-Arab (Ajam). Di mana bahasa kaum Badwinya tidak semurni badwi Bashrah. Kebanyakan dari mereka dalah orang-orang Yaman. Jarang sekali datang dari kabilah lain. Sedangkan Yaman, bahasa mereka tidak bisa dijadikan hujjah karena telah tercampuri bahasa Persia dan Ahbasy. Kemudian antara Kufah dan jazirah Arab, terbentang gurun pasir yang sangat luas. Kondisi itu tidak memungkinkan para ulamanya mereka melakukan rihlah ilmiah ke sana, sebagaimana ulama-ulama Bashrah. Sedang al-Kisaiy tidak pernah melakukan perjalanan itu, kecuali atas hasil berguru pada Khalil. Khalil memberikannya petunjuk untuk melakukan perjalanan.
Abu Amr bin Abi al-Ala, seorang ulama Bashrah periode pertama telah melakukan perjalanan selama empat puluh tahun. Sedangkan al-Kisaiy hanya tinggal empat puluh hari di perkampungan orang badwi tersebut. Dengan demikian, para ulama Basrah dalam periwayatan bahasa (sima) dari orang Arab badwi, lebih kuat sanad-sanadnya walau tidak banyak. Sedang ulama Kufah sangatlah lemah, kendati lebih banyak meriwayatkan. Begitulah Khatib al-bagdadiy memberikan gambaran perbedaan antara kedua madzhab tersebut.
Para ulama Kufah sangat berbeda dengan ulama basrah. Mereka kurang begitu ahli dalam mengunakan manthiq. Sehingga mereka banyak membuat kesalahan dalam membuat kaidah-kaidah nahwu. Mereka sering menjadikan kalimat-kalimat yang syadz dan jarang sebagai kaidah. Hal ini akan menyulitkan pada pembelajaran nahwu, karena terlalu banyak kaidah yang harus dipakai.
Ada sebagian peneliti menyimpulkan bahwa perbedaan antara madzhab Basrah dan Kufah adalah, jika basrah lebih cenderung ke kias (manthiq) sedang madzhab Kufah lebih cenderung ke sima’ (periwayatan). Memang hal itu bisa dibenarkan, namun itu terlalu menyederhanakan masalah. Dan yang penulis pegang adalah seperti yang telah diuraikan di atas.
C. Madzhab Andalusia (spanyol)
Ketika Thariq bin Ziyad berhasil menaklukan Andalusi, banyak dari para prajurit bawahannya adalah para kaum terpelajar. Mereka menguasai bahasa, syair, dan nahwu. Wawasannya itu terlontar dalam obrolan-obrolan mereka. Jadi belum terbentuk ilmu yang sistematis (Amin: Zhuhrul Islam, 3: 82).
Khalifah Abdurrahman al-Nashir, seorang gubernur Andalusia, ketika itu menginginkan kekuasaannya kokoh dengan ilmu pengetahuan, syair, dan sastra, sebagaimana yang terjadi pada masa daulah Abbasiyyah. Setelah berpikir panjang, ia menganggap bahwa yang pantas mengurusi persoalan tersebut adalah Abu Ali al-Qali, yang memiliki kecenderungan pada bani umayah. Di mana ayahnya adalah seorang pelayan Khalifah Abdul Malik bin Marwan (Ibid).
Abu Ali dibesarkan di Bagdad, dan belajar pada guru-guru di sana. Ia adalah orang yang bersungguh-sungguh dalam belajar. Sehingga menguasai ilmu hadits, bahasa, sastra, nahwu, dan sharaf, dari guru-guru (masyayikh) yang sudah terkenal, seperti al-Harawi dalam bidang hadits, Ibnu Darastawih, salah seorang ahli nahwu dan sastrawan terkemuka, Zujaj, Akhfash, Ibnu Siraj, Ibnu al-Anbariy, Ibnu Abi al-Azhar, Ibnu Quthaibah dan yang lainnya. Ia tinggal di Bagdad selama 25 tahun.
Abu Ali telah mengarang beberapa kitab seperti al-Amali yang berisi tentang bahasa dan syair, kitab al-mamdud wa al-maqshur, al-Ibil wa nitajuha, hily al-insan, fa’alta wa af’alta, tafsir muallaqat al-sab, dan kitab al-bari fi al-Lughah, yang disusun berdasarkan huruf mu’jam yang katanya setebal 3000 halaman.
Selanjutnya, banyak dari orang Andalusia yang belajar kepadanya, seperti Ibnu Quthiyyah dan Abu Bakar al-Zubaidiy. Ibnu Quthiyyah adalah seorang ahli bahasa dan nahwu yang besar, di samping ia sebagai seorang penyair dan sejarawan. Sebagai ulama nahwu Ibnu Quthiyyah telah mengarang kitab al-Af’al. Sedang Abu Bakar al-Zubaidiy adalah seorang ahli nahwu yang sangat terkenal. Ia telah mengarang kitab mukhtashar al-ain.
Pada periode selanjutnya, di antara ulama nahwu Andalusia ada yang bernama al-Syalubaini. Ia adalah seorang imam dalam bidang nahwu. Begitu masyhurnya ia. Sehingga banyak siswa yang ingin belajar padanya. Ia telah mengarang kitab dalam bidang nahwu yaitu, kitab tauthiah. Ia lahir di Isybiliyyah pada tahun 562 H dan meninggal pada tahun 645 H.
Setelah Syalubaini, muncul dua orang ahli nahwu yang tak kalah populer, yaitu Ibnu Kharuf dan Ibnu Ushfur. Kedua-duanya sama-sama memiliki pandangan sendiri-sendiri dalam bidang nahwu. Ibnu Kharuf berasal dari Isybiliyah. Ia adalah seorang imam pada zamannya dalam bahasa Arab di Andalusia. Ia adalah salah seorang yang mensyrahi kitab karya Sibawaih, di samping mensyarahi kitab-kitab lainnya seperti kitab al-jumal. Ibnu Ushfur juga berasal dari Isybiliyyah yang membawa panji-panji Arab di Andalusia, setelah gurunya Abu Ali al-Qali. Dan ia telah banyak mengajarkan bahasa Arab di beberapa tempat di andalusia, seperti Isybiliyyah, Syirisy, Maliqah, Lurqah, dan Marsiyyah.
Periode selanjutnya adalah Ibnu Malik. Ia memiliki nama lengkap Jamaludin Muhammad bin Abdillah. Ia dilahirkan di kota Hayyan, salah satu kota di Andalusia sekitar tahun 600 H.. Ia belajar nahwu kepada ulama di kota tersebut, juga kepada Abu Ali al-Syalubaini. Kemudian ia berangkat ke Mesir dan Damaskus. Di sana ia mempelajari ilmu syari’ah dan menjadi seorang ahli di bidang tersebut. Ia memperoleh kemasyhuran sebanding dengan kemasyhuran imam Sibawaih. Yang membedakan ia dengan ulama nahwu lainnya adalah karena ia sangat ketat dalam memegang kaidah nahwu. Hal ini terlihat dalam kaidah-kaidah yang tertuang dalam karyanya yang sangat populer, alfiyyah. Kitab ini mendapat posisi penting dalam bidang nahwu. Kitab ini telah menyedot jutaan pelajar untuk menghafalkannya, baik di Timur maupun di Barat sampai hari ini. Selain alfiyyah, ia juga telah mengarang sejulah kitab seperti, al-Kafiyyah al-Syafiyyah, al-Tashil, Lamiyyat al-Afal, al-Miftah fi Abniyat al-Af’al, dan Tuhfatul Maujud fi al-Maqshur wa al-Mamdud. Menurut Ahmad Amin, Sibawaih telah menazhamkan nahwu Sibawaih, lalu menjelaskannya dan mendekatkan pada masyarakat, dan membuat generalisasi, sehingga kita tidak jauh dari kebenaran. Ia juga seorang imam dalam bidang qira’at yang sangat luas ilmu bahasanya.
Ulama selanjutnya adalah Abu Hayyan al-Gharnathiy. Ia juga dianggap sebagai ulama besar nahwu Andalusia. Ia seorang ahli bahasa Arab. Ia lahir dari keturunan Barbar. Ia lahir di tahun 654 H.. ia bermadzhab Zhahiriy sebagaimana Ibnu Hazm. Ia ahli dalam bidang nahwu, tafsir, hadits, dan syair. Karya-karyanya mencapai jumlah kurang lebih 65 buah kitab. Tapi yang sampai pada kita hanya sepuluh buah.
Sebagaimana telah diceritakan di atas, maka yang merintis madzhab Andalusia ini adalah Abu Ali al-Qali. Namun demikian sebagaimana disebutkan oleh Ahmad Amin, semua ahli nahwu semenjak Abu Ali al-Qali, masih bertaqlid pada nahwu Sibawaih. Kendati ada beberapa ulama seperti Ibnu Malik dan Abu Hayyan, mereka hanya berijtihad madzhab -kalau dalam istilah fiqih-, tidak berijtihad muthlaq. Karena memang Khalil bin Ahmad al-Farahidi beserta muridnya Sibawaih telah meletakkan pondasi nahwu dengan pilar-pilarnya yang kokoh, yang sulit digoyahkan, apalagi ditumbangkan.
Tetapi ada seorang ulama Andalusia yang mencoba menggoyangkan pondasi Khalil dan Sibawaih tersebut. Ia bernama Ibnu Madha al-Qurthubiy. Ia berijtihad dengan mutlak dalam bidang nahwu. Ia hidup pada masa dinasti al-Muwahhidun. Ia diangkat menjadi pemimpin para Qadhi, ketika kepempinan Yakub bin Yusuf. Dinasti Muwahhidun sangat dikenal dengan keberaniannya dalam mempublikasikan madzhabnya. Hal itu ditandai dengan peristiwa pembakaran kitab-kitab madzhab fiqih, atas perintah Yusuf bin Yaqub, dan menggiring masyarakat untuk memahami al-Quran dan hadits secara zhahir.
Menurut Dr. Syauqi Dhaif, masa ini adalah masa ketika dikarangnya kitab al-Radd ala al-Nuhat. Masa ketika maghrib (Andalusia) memberontakan/revolusi masyriq (Bagdad), dalam segala hal, seperti fiqih dan cabang-cabangnya. Dan kenyataannya, sejak pertama berdiri, dinasti tersebut telah mengobarkan revolusi. Maka apabila kita melihat Yusuf membakar kitab madzhab-madzhab yang empat, artinya ia ingin mengembalikan fiqih Masyriq kepada tempat asalnya. Begitulah kata Dhaif.
Langkah ini diikuti oleh Ibnu Madha al-Qurthubiy dengan mengarang kitab al-Radd ala al-Nuhat, dengan maksud untuk mengembalikan nahwu Masyriq ke tempatnya. Atau denga kata lain, ia hendak menolak beberapa pokok bahasan nahwu Masyriq dan memurnikannya dari cabang-cabang dan ta’wil yang sudah usang. Ia ingin menerapkan madzhab zhahiri pada bidang nahwu, sebagaimana pemimpinnya.
Ibnu Madha hendak merobohkan madzhab Sibawaih. Ia mengarang tiga buah kitab, yaitu al-Musyriq fi al-Nahw, Tanzih al-Quran Amma la Yaliqu bil Bayan, dan al-Radd ala al-Nuhat. Ketiga kitab tersebut berisi bantahan atas nahwu Sibawaih beserta para pendukungnya, serta menganjurkan untuk membentuk nahwu baru.
C. Daftar Linguis Arab sejak abad ke-7 M
Linguis
Kota
Tgl wafat (H/M)
Sibawaih
Bashra
177/793
Qutrub
Bashra
206/821
Al-Farra’
Baghdad
207/822
Al-Akhfash
Baghdad
215/830 atau 221/835
Al-Asma’i
Baghdad
216/831
Sijistani
Baghdad
255/868
Mubarrad
Baghdad
285/898
Tha’lab
Baghdad
291/904
Ibnu Kaysan
Baghdad
299/911 atau 230/932
Lughda
Baghdad
311/923
Zajjaj
Baghdad
311/923
Ibnu al-Sarraj
Baghdad
316/928
Ibnu Durayd
Baghdad
321/932
Anbari (Abu Bakr)
Baghdad
328/939
Zajjaji
Baghdad/Damaskus
337/949 atau 340/951
Sirafi, Abi Sa’id al-Hasan
Baghdad
337/949
Nahhas
Kairo
338/950
Sirafi, Abu Muhammad
Baghdad
368/979
Al-‘Azhari
Baghdad
371/980
Al-Farisi
Baghdad
377/987
Zubaydi
Spanyol
379/988
Ibnu Jinni
Baghdad/Mosul/Aleppo
392/1002
Ibnu Faris
Baghdad/Ray
395/1004
Saymari
Baghdad/Mesir
Awal abad 5H/11M
Harawi
Baghdad
415/1023
Ibnu Sina
Ray (Persia)
428/1036
Tha’alabi
Persia
429/1037
Ghundajani
Persia
430/1038
Qaysi
Tunisia(Qarawan) / Spanyol(Kordova)
437/1045
Ibnu Burhan al-‘ukbari
Baghdad
456/1063
Khafaji
Aleppo
466/1073
Jurjani
Ray
471/1078
Batalyusi
Spanyol
521/1127
Zamakhshari
Baghdad / Mawrad(Persia)
538/1154
Ibnu Hisham Hadami
Spanyol
550/1154
Anbari, Abu Barakat
Baghdad
577/1187
Ibnu Madha
Kordova
592/1195
Sakkaki
Khuwarzum (timur laut Persia)
626/1228
Ibnu Ya’ish
Baghdad / Aleppo
643/1245
Ibnu Hajib
Kairo
646/1248
Ibnu ‘Usfur
Spanyol
669/1270
Astarabadhi
Persia / Makkah
686/1286
Qazwini
Persia
739/1338
Ibnu Khaldun
Spanyol / Afrika Utara
758/1356
Ibnu Hisham al-Anshari
Kairo
761/1360
Ibnu Aqil
Kairo
768/1367
Suyuti
Kairo
911/1505
‘Ushmawni
Kairo
927/1520
Basha
Turki
940/1533
Shirbini
Kairo
979/1570
D. Karakteristik
Bahasa Arab mempunyai ciri-ciri kekhususan yang tidak terdapat pada bahasa-bahasa lainnya. Kemudian dari kekhususannya ini menjadikan bahasa Arab sebuah bahasa yang fleksibel, mempunyai elastisitas yang tinggi, maka dalam menjalankan dan mempertahankan fungsinya sebagai bahasa komunikasi, sarana dalam penyampaian tujuan agama, dan pencatatan berbagai ilmu pengetahuan telah mampu disampaikan dengan mudah dan benar. Bahasa Arab memiliki struktur ilmu diantaranya ilmu makharijul huruf (fonetik), funulujiyah (fonologi), sharaf (morfologi), nahwu (sintaksis), ilmu ma’ani (semantik) dan lain-lain.
Bahasa arab memiliki beberapa variasi bahasa yaitu bahasa Arab Klasik, standar modern bahasa dan bahasa amiyah sehingga memiliki beberapa karakteristik (keistimewaan). Berikut ini merupakan karakteristik (keistimewaan ) bahasa Arab, antara lain :
1. Isytiqaq
Yang dimaksud dengan isytiqoq adalah pengambilan sighot (bentuk kata) dari sighot yang lain, karena ada persamaan baik dari segi bentuk, maknanya maupun strukturnya dengan beberapa tambahan tertentu yang telah ditetapkan. Ada dua pendapat ulama mengenai isytiqok ini, antara lain:
1. Ulama Bashrah bahwa sumber isytqoq adalah masdar
2. Ulama Kufah bahwa sumber isytiqaq adala kata kerja (fi`il).
2. Ta`rib (arabisasi)
Yang dimaksud dengan ta`rib disini yakni kata asing yang diambil kedalam bahasa arab, dalam proses ta`rib mungkin terjadi pengurangan, penambahan penukaran sehingga bahasa tersebut menjadi bahasa arab asli sebagai contoh dari kata yang terdapat penambahan dan penukaran : kata (kulit hitam) berasal dari bahasa Persia ditambah alif dan ha ditukar dengan huruf jim ( ارندج- رنده )
3. Al-I’rab
Keistimewaan bahsa Arab juga disebabkan kehadirannya I`rab, bahkan dapat dikatakan bahwa I`rab adalah ciri khas bahasa arab. I`rab adalah perubahan bunyi akhir suatu kata dalam kalimat yang disebabkan oleh perbedaan faktor (‘amil yang menyertainya, baik ‘amil disebut itu jelas maupun diperkirakan dalam bina’) Perbedaaan tersebut dapat mempengaruhi makna). sebagai contoh:
هذا قِطٌ - رأيت قِطًّا - مررت بقِطٍّ - تكتبُ - لن تكتبَ – لم يكتبْ
Dalam bahasa arab terdapat tiga bentuk bilangan yaitu : Tunggal, ganda dan jamak. Konsekuensi dari pemilahan-pemilahan tersebut di atas adalah adanya keharusan untuk selalu berkesesuaian dalam penyusunan frase atau kalimat.
Dalam bahasa Arab terdapat dua bentuk jamak, yaitu jamak yang beraturan dan jamak yang tidak beraturan. Jamak yang beraturan dengan menambah akhiran pada kata tunggal, sedangkan jamak yang tidak beraturan dibentuk dengan mengadakan perubahan vokal intern kata atau dengan jalan menambahkan prefiks, infiks dan sufiks, sesuai dengan salah satu pola yg terdapat dalam kaidah jamak taksir.
4. Ilmu Balaghah
Ilmu balaghah adalah ilmu yang mempelajari gaya bahasa dan rahasia-rahasia yang terkandung dalam bahasa arab, khususnya Al-Qur`an, tegasnya ilmu balaghah ini merupakan ilmu kesustraan bahasa arab. Yang sepadan dengan ilmu balagah ini yaitu disebut dengan ilmu Retorika. Menurut Henry Guntur Taringan Retorika berasal dari bahasa yunani, Rhetor yang artinya orator atau ahli pidato.
5. Al-Mufrodat
Setelah al-Qur`an turun, banyak pengertian atau arti kosakata yang mengalami pergeseran, perubahan makna semantik seperti contoh :


لا ريب فيه - لا شك
الصبح - الفجر
قعد - جلس
زوج - امراة


Kata زوج dan امراة ditampilkan dalam konteks kehidupan suami istri yang penuh kasih sayang dan memiliki anak keturunan, sedangkan mempunyai makna istri yang dalam kehidupan suami istri tidak terdapat kasih sayang karena ada khianat/ perbedaan akidah dan digambarkan dalam surah yusuf (30) dan surat at-Tahrim (10). Lafal-lafal dalam al-Qur`an jika diperhatikan dan diteliti secara mendalam akan munculkan kajian baru, sehingga nantinya al-Qur`an bukan hanya sebagai sumber hukum islam antara fiqih dan akhidah tetapi juga merupakan sumber bidang kebahasaan.
Bahasa terdiri atas lambang-lambang, yaitu tanda yang digunakan untuk menyatakan sesuatu yang lain. Didalam bahasa, tanda terdiri dari rangkaian bunyi yang pada ragam tulis dialihkan kedalam tanda-tanda visual yaitu huruf dan tanda baca(efek fonologi terhadap makna). Hubungan antara rangkaian bunyi tertentu dan makna yang dinyatakan bersifat arbiter semata tidak ada hubungan yang wajar antara lambang dan objek yang dilambangkannya (Panuti Sufirman, 1993, hal 9) namun dalam hal estetika Al-Qur`an, jika ada bunyi lafal yang menyerupai atau menunjuk kepada makna yang dikandung, maka makna itu dianggap lebih Kuba` mudo`ah mengandung arti perulangan. Contoh: Za`za`ah artinya goncangan Qolqalah artinya keributan, Solsolah artinya bunyi berderek-derek, Qa`qa`ah artinya gemerincing, Jarjarah artinya bising, dan Qorqorah artinya keroncongan.
Demikian contoh tentang kekayaan kosa kata bahasa Arab, serta betapa telitinya bahasa tersebut mamberikan gambaran tentang sesuatu, ini berarti bahwa dalam pemulihan kata untuk menjelaskan atau menjawab sesuatupun harus dengan kehati-hatian karena jika tidak tepat dalam memilih kata-kata maka boleh jadi membenarkan sesuatu yang sebenarnya menolaknya.
6. Dalaalah
Ad-Dalaalah atau Semantik (pertentangan makna) yaitu Ilmu yang disepakati sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya atau dengan kata lain, bidang studi linguistik yang mempelajari makna/arti dalam bahasa arab mengenai jenis-jenis makna. Para linguis arab tradisional berpendapat bahwa maksud pertentangan makna adalah satu kata yang mempunyai dua makna yang saling bertentangan, bukan dua kata yang maknanya bertentangan.
Mukhtar umar membagi jenis-jenis makna kepada lima jenis, yaitu:
1. Al-Ma’na al-Asasiy: makna kata yang melakat pada sebuah kata.
2. Al-Ma`na al-Ishafy: makna yang terkandung dalam sebuah kata disamping makna sebenarnya yang melekat pada kata tersebut.
3. Al-Ma`na al –Ushuby: makna yang berkenaan dengan gaya pemilihan kata didalam masyarakat sehubungan adanya perbedaan sossial, geografi tingkat pendidikan.
4. Al-Ma`na al-Nafsy: makna yang terkait pada orang tertentu tetapi tidak untuk umum.
5. Al-Ma`na al-Ihaiy: makna yang terkandung dalam sebuah kata yang menunujukan kepada seseorang yang berkenaan adanya kata itu dengan keadaan diluar bahasa.
Dalam kajian ini ada lafal-lafal bahasa Arab yang dihubungkan dengan lafal-lafal lainnya dan dikaitkan dengan pemakaiannya dan kita kenal dengan sebutan at-taraduf al-musytaraq lafdzhi dan at-tadhodz.
Taraduf secara harfiah berarti sesuatu mengikuti sesuatu sedangkan kata taraaduf itu sendiri berarti sesuatu yang saling mengikuti, sedangkan secara etimologi definisi Taraduf menurut Dr. Taufik Muhammad Salim beberapa kata menunjukan arti yang sama sebagaimana contoh pada pembahasan mufrodat.
7. Al-Musytarak – al-Lafidziy
Al-Musytarak al – lafdziy dalam bahasa indonesianya adalah kata-kata yang sama bunyinya tetapi mengandung arti dan pengertian berbeda.
Contoh: 1. Syahaadah mengandung sepuluh arti/makna
Antara lain : Observasi, menyaksikan, melihat, yakni, beraksi, dll.
Contoh: 2. Quru` yang berarti siang atau siang malam
Menurut Dr Naif Mahmud Ma’ruf dalam kitabnya Khasaisu Al’Arabiyah Watharaiqu tadrisiha ( hal 38-51 ) menjelaskan bahwa bahasa Arab merupakan bahasa yang baik susunan kalimatnya dan sangat indah bahasanya. Ada pendapat dari berbagai ulama salaf maupun khalaf tentang karakteristik bahasa Arab diantaranya :
1. Ibnu Fars berkata: “Bahasa Arab paling baik dari sekian bahasa dan sangat kaya akan bahasa maka cukuplah alasan bagi Allah SWT mengapa memilih bahasa Arab sebagai bahasa Al-Quran dan Nabi Muhammad SAW diutus di Arab sebab disamping alasan diatas bahasa Arab ( Al-Quran ) tidak bisa diterjemahkan kedalam bahasa lain kecuali harus disertai dengan teks aslinya supaya terjaga keasliannya. Berbeda dengan kitab Injil dan Taurat yang sudah berubah” (Khasais Al-Lughah : 38)
2. Imam As-Suyuti berpendapat bahwa Bahasa Arab banyak mufradatnya, kaya akan makna dan idiom, juga masih banyak lainnya.
3. Ibnu Jinna berpendapat bahwa didalam bahasa Arab terdapat huruf yang menunjukkan terhadap suatu makna. Maksudnya dalam setiap huruf ada sesuatu makna dan tujuan tertentu.
Selain itu, Bahasa Arab juga memiliki karakteristik yang unik dan universal. Dikatakan unik karena bahasa Arab memiliki ciri khas yang membedakannya dengan bahasa lainnya, sedangkan universal berarti adanya kesamaan nilai antara bahasa Arab dengan bahasa lainnya. Karakteristik universalitas bahasa Arab antara lain dapat diuraikan sebagai berikut :
1. Bahasa Arab memiliki gaya bahasa yang beragam, yang meliputi, (1) ragam sosial atau sosiolek yaitu ragam bahasa yang menunjukan stratifikasi sosial ekonomi penuturnya; (2) ragam geografis, ragam bahasa yang menunjukan letak geografis penutur antara satu daerah dengan daerah lain, sehingga melahirkan dialek yang beragam; (3) ragam idiolek yaitu ragam bahasa yang menunjukan integritas kepribadian setiap individu masyarakat (لهجة فردية).
2. Bahasa Arab dapat diekspresikan secara lisan atau pun tulisan. Menurut Bloomfield bahasa lisan merupakan hakekat adanya suatu bahasa. Realitas ini dapat dipahami karena adanya bentang sejarah peradaban manusia terlihat jelas mereka pada umumnya berbahasa lisan meskipun diantara mereka tidak dapat menulis dan tidak mengenal lambang tulisan. Bahasa lisan sebagai system verbal lebih banyak dipakai oleh manusia dalam berkomunikasi antara satu dengan lainnya antar anggota masyarakat di lingkungannya. Hal ini dimaksudkan agar penyampaian pesan lebih cepat dipahami maknanya oleh masyarakat sasaran.
3. Bahasa Arab memiliki system, aturan dan perangkat yang khas, antara lain bahasa Arab itu :
a. Sistemik, bahasa yang memiliki system standard yang terdiri dari sejumlah sub-sub system (sub system tata bunyi, tata kata, kalimat, syntax, gramatikal, wacana dll.).
b. Sistematis, artinya bahasa Arab juga memiliki aturan-aturan khusus, dimana masing-masing komponen sub system bahasa bekerja secara sinergis dan sesuai dengan fungsinya.
c. Komplit, maksudnya bahasa itu memiliki semua perangkat yang dibutuhkan oleh masyarakat pemakai bahasa itu ketika digunakan untuk sebagai alat komunikasi dalam berinteraksi dan bersosialisasi antar mereka.
4. Bahasa Arab memiliki sifat yang arbitrar dan simbolis. Arbitrar berarti mana suka, artinya tidak adanya hubungan rasional antara lambang verbal dengan acuannya. Kata dalam setiap bahasa merupakan lambing-lambang benda nyata, abstrak, gagasan, dan sebagainya. Dengan sifat simbolis yang dimiliki bahasa, manusia dapat mengabstraksikan berbagai pengalaman dan buah pikirannya tentang berbagai hal, termasuk hal-hal yang kelak akan dialaminya.
5. Bahasa Arab berpotensi untuk berkembang, produktif dan kreatif. Hal ini terjadi karena perkembangan bahasa selalu mengikuti perkembangan peradaban manusia, sehingga muncul kata dan istilah-istilah bahasa baru yang digunakan untuk mengkomunikasikan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang.

Bahasa Arab merupakan fenomena individu dan fenomena sosial. Sebagai fenomena individu, bahasa merupakan ciri khas kemanuisaan. Ia bersifat insani karena hanya manusia yang mempunyai kemampuan berbahasa verbal. Adapun sebagai fenomena sosial, bahasa merupakan konvensi suatu masyarakat pemilik atau pemakai bahasa itu. Seseorang menggunakan bahasa sesuai norma-norma yang disepakati atau ditetapkan untuk bahasa tersebut. Kesepakatan disini maksudnya bukanlah kesepakatan formal sebagai hasil konferensi atau muktamar yang melibatkan anggota masyarakat luas. Kesepakatan yang dimaksudkan pada dasarnya merupakan kebiasaan yang berlangsung turun temurun dari nenek moyang, yang sifatnya mengikat dan harus diikuti oleh semua pengguna bahasa. Jika seseorang tidak mematuhi atau menyimpang dari kesepakatan bersama tersebut, maka bahasa yang dituturkannya tidak akan dipahami atau paling tidak akan dipahami secara menyimpang (misunderstanding) oleh orang lain dalam masyarakat yang sama.